Toleransi adalah menghargai perbedaan supaya tercipta perdamaian yang akan dinikmati seluruh masyarakat tanpa terkecuali baik hitam, putih, tinggi ataupun pendek semua berhak merasakan buah toleransi yaitu perdamaian. Islam sebagai rahmat lilalamin pastinya mengajarkan toleransi, hal ini dicontohkan sohib syariah islam Nabi Muhamad SAW ketika di madinah mengadakan perjanjian antara muslim dan yahudi diantara butir yang disetujui adalah:
- Orang yahudi dari bani ‘auf adalah satu umat dengan kaum mukmin. Orang-orang yahudi dengan agamanya dan orang-orang mukmin dengan agamanya sendiri. Hal ini juga berlaku bagi kelompok yahudi diluar bani ‘auf.
- Harus nenolong orang yang dizalimi.
- Mereka harus bersatu melawan pihak yang hendak menyerang yatsrif.
- Mereka harus saling menasihati, berbuat baik dan tidak boleh berbuat jahat.[1]
Dari butir tersebut islam mengajarkan hidup bersama-sama walaupun berbeda-beda yang diikat dalam perjanjian berdasarkan toleransi, yang dimana toleransi oleh islam dianggap sebagian iman[2], tanpa menghapus perbedaan itu demi kebahagiaan bersama. Oleh karena itu Islam sebagai agama toleransi itulah kata yang paling tepat. Akan tetapi ada juga yang mengaburkan atau memutar balikan fakta sejarah yang ada, seperti kasus sahabat Umar RA yang membebaskan Mukodas Palestina dari kekaisaran Romawi yang di isukan ketika itu Umar mensyaratkan agar yahudi tidak bermukim disana, jika Umar RA pernah membuat perjanjian tersebut pastilah diikuti generasi muslim setelahnya karena muslim diperintah mengikuti khulafa rosidin, faktanya salahudin al ayubi tidak mengusir yahudi ketika membebaskan mukodas palestin setelah peperangan salib serta mengaanggap yahudi sebagai ahli dimah biasa. Ini menunjukan isu tersebut salah adanya.[3]
Sebagian dari kita dengan mengatas namakan toleransi- tidak ada permusuhan – menganggap seluruh agama benar, menyamakan hak perempuan dengan laki-laki dan lain sebagainya yang merobek ijmak. Maka Saleh bin Abdurahman menggaris bawahi toleransi sebagai berikut “ Selama toleransi tidak mengakibatkan terbelanya orang dholim, kecerobohan dalam membela agama dan mengakibatkan harga diri muslim terhina maka toleransi diperintahkan.” [4]
Menganggap semua agama benar dengan alasan semua agama langit berkeyakinan monoisme (satu tuhan) walaupun terjadi perbedaan diantara sekte-sektenya[5]. Kalau kita boleh menambahi kemungkinan alasan mengapa timbul pendapat semua agama benar. Alasan pertama karena islam di zaman sekarang dari segi politik, sosial dan teknologi tertinggal jauh oleh non muslim, oleh karena itu islam harus bisa mengejar ketertinggalan tersebut dengan berbagai cara, cara yang dianggap paling tepat adalah ikut mengkaji kajian non muslim itu akan tetapi kefanatikan muslim terhadap agama islam itu sendiri menjadi hijap yaitu menganggap islam diatas segalanya sehingga menjadi penghalang kemajuan islam, selain cara tersebut seperti teroris, pembrontakan ataupun menantang non muslim, kayaknya tidak akan sukses, bahkan menjadi batu loncatan bagi mereka untuk membinasakan muslim dari bumi Tuhan. Jadi dengan kefanatikan tersebut islam menjadi semakin lemah, maka dikeluarkanlah pendapat tersebut supaya kefanatikan agama hilang dan berani membuka diri kepada dunia luar. Kedua adalah menghargai agama lain atas nama toleransi. Kalau memeng benar ini alasan mereka, berarti mereka dangkal dalam berfikir dalam memajukan islam sehingga menggadaikan islam itu sendiri dengan menghilangkan kefanatikan dalam agama padahal Ibnu Kholdun di mukodimahnya menuliskan “agama tidak akan sempurna tanpa fanatik” lalu beliau membagi fanatik menjadi dua yaitu fanatik buta dan tidak buta.[6] Keduanya mempunyai akibat yang dihasilkan sendiri-sendiri.
Cukuplah bagi muslim untuk memajukan agamanya tanpa menggadaikannya yang mengatas namakan toleransi tersebut, dengan mengamalkan firman Allah SWT yang dinukil Buya Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern yaitu:
(فبشر عباد الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه (الزمر17-18
“Berilah kabar gembira bagi hambaku yang suka mendengar kata dan memilih mana yang baik”
Sebelum menulis ayat tersebut beliau menuliskan; umat islam disuruh menjadi penyaring jangan menjadi “nerimo ae” terima saja, laksana air yang dilalui ikan, buaya, kapal dan dilalui bangkai. Tetapi memilih mana yang baik, memperbaiki mana yang patut dan melemparkan perkara yang tidak baik.[7]
Jadi kalau ada cara yang lebih maslahat mengapa tidak?
Daftar Baca:
[1] Shahih Siroh Nabawiyah hal 241
[2] حقيقة الإيمان قيل فما الإيمان، قال: السماحة والصبر
[3] القدس قضيه كل مسلم باب الفتح الإسلامي ص26
[4] التسامح والعدوانية ص28
[5] Diskusi forum kiai muda jatim dengan Ulil
[6] Jadum dengan Pak Hurul
[7] Tasauf Modern