Hal yang lumrah seketika berkenalan dengan orang lain adalah melihat wajahnya. Secara etimologi, wajah berasal dari bahasa arab wajaha yang mempunyai arti sudut pandang, kata tersebut mengalami asimilasi kedalam bahasa indonesia dengan arti muka. Dari makna asal sebagai sudut pandang, ia selalu dinomer satukan dalam perawatan dari pada anggota tubuh yang lain sebab wajah sebagai tolak ukur atau sudut pandang seseorang untuk dikenal dan dinilai sebagai bentuk pengejawentahan identitas pribadi. Menurut fakta lampangan, bahwa seseorang menundukan atau menengadahkan wajah dipengaruhi untuk mempertahankan eksisitensi identitas pribadi guna menutupi atau memperlihatkan identitas. Semisal orang yang malu, menundukkan wajahnya berbeda bagi orang yang percaya diri.
Secara tabiah, manusia mendahulukan perkara yang dianggap paling penting yang menjadi keniscayaan. Identitas yang disimbolkan dan diwakili oleh wajah menjadi daya tarik tersendiri bagi wajah untuk diperhatikan dan dirawat secara maksimal. Bercermin adalah salah satu cara untuk mengetahui keadaan wajah, semakin banyak seseorang bercermin maka ia semakin mengetahui mukanya sehingga ia tahu apa yang harus dikerjakan untuk mendandaninya.
Pada umumnya, orang mencurahkan perhatiannya untuk merawat dan memperindah wajah luar secara konferhensip, mereka tidak akan melewatkan sedikit pun tiap bagian wajah. Terbukti banyak salon bermunculan untuk mempercantik penampilan lahiriyah atau semakin laris-manisnya produk kosmetik, yang menjadi bukti tentang hal di atas. Setelah terlihat cantik, ambil kamera dan berfoto layaknya model yang terkadang menyalai nilai-nilai positif, selanjutnya di unggah kemedia sosial dengan berharap banyak yang suka atau sekedar pamer.
Sangat ironi, jika dibandingkan dengan perawatan wajah batin, padahal wajah batin dapat mempengaruhi karakter dalam menyikapi kehidupan dan menjadi obyek penelian oleh yang Maha Melihat dan yang pantas untuk diharap penilaiannya, sedangkan wajah dhahir menjadi makanan cacing tanah seketika wajah batin meninggalkannya.
Wajah bukan hanya dimiliki oleh individu, Negara pun mempunyai wajah karena ia terbentuk dari individu-individu. Memperbaiki wajah berupa infrastruktur-infrastruktur fisik yang meliputi kenyamanan, keindahan dan keasrian Negara sangat diutamakan, seperti pembangunan tempat wisata, pembangunan taman kota, pembangunan jalan, pembangunan gedung-gedung pemerintah, sekolah-sekolah dan lain sebagainya yang di harapkan dapat menjadi faktor pendukung pembangunan manusia yang berkualitas. Namun acap kali disalah-gunakan sebagian oknum untuk pelampiasan nafsu keserakahan, contoh tempat wisata, semakin hari semakin indah dan nyaman sehingga dibuat tempat ajang pelampiasan perihal negatif.
Dan pembangunan lainya, entah itu berupa gedung pemerintah, sekolah atau jalan tidak luput dari kepentingan sebagaian orang sebagai pelampiasan keserakahan. Tujuan yang baik tidak menjadi jaminan akan terciptanaya hal yang baik selama tidak dibarengi dengan proporsional terhadap objek yang dituju yang sekaligus menjadi sabjek(masyarakat), dengan memberi sesuatu yang paling dibutuhkan untuk menjadikan manusia berkualitas melalui penanaman dan pemupukan nilai-nilai positif yang berimplikasi pada Negara yang berkualitas. Wajah yang satu ini sangatlah mudah dideteksi dan mudah dinilai sebab berbentuk bangunan fisik.
Sarana untuk mengetahui wajah dari sebuah bangsa, salah satunya dapat menggunakan media sosial. misalnya media televisi yang acapkali menyesuaikan keinginan masyarakat untuk mengejar riting dengan tujuan mendapatkan keuntungan besar tanpa menghiraukan akibat yang akan timbul, hal ini mengisyaratkan keinginan -rupa wajah- masyarakat secara umum dapat dilihat dari tayangan televisi. Hampir setiap rumah di dalamnya tersimpan tv. Tayangan televisi berdurasi 24 jam perhari, di dalamnya hapir dibanjiri acara-acara hiburan atau intertaimen yang tidak mewakili nilai-nilai ketimuran, diantaranya adalah sinetron dengan genre cinta yang di dalamnya terdapat pengajaran bagaimana dan cara-cara berpacaran yang meliputi merayu, mencari perhatian, romantis, bahkan mengajari orang tua untuk membiarkan anak-anaknya berpacaran. Disadari ataupun tidak, berpacaran mempunyai efek samping yang tidak kalah mematikan yang menyebabkan kematian moral, lebih-lebih moral pemuda yang diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam perubahahan menuju lebih baik, malahan mereka menjadi beban untuk perubahan itu sendiri.
Racun-racun penyebab kematian moral pemuda bukan hanya pacaran, seperti minuman beralkohol tinggi, narkoba, sabu, dan pendidikan yang keliru, juga menyumbang racun. Masih tentang penayangan televisi, telivisi juga menayangkan berita-berita yang meliputi dalam negeri dan luar negeri-terlepas dari kefalitan berita-hampir semua yang ditayangkan berupa berita-berita berhawa panas yang terlahir dari kebencian seperti perang, kriminal dan politik negatif. Berita yang adem-ayem agaknya tidak laku untuk dijajakan di hadapan wajah panas cinta kebencian.
Gosip juga mendapat jam tayang di televisi, namanya saja gosip pasti acaranya mengosap-gosip sana-sini dan terkadang disisipi pameran harta kekayaan, kemewahan gaya hidup yang berlebihan dan fetion kemenoran mencerminkan hidup praktis dan hedonis, acara tersebut sengaja ataupun tidak mempengaruhi gaya hidup masyarakat, akibatnya gaya hidup orang mewah dipaksa masuk dalam kenyataan kemiskinan sehingga melahirkan fenomena baru yang berkutat pada saingan tidak sehat, iri, drengki, benci dan pemaksaan kenyataan.
Sekarang banyak ditemuai orang yang bergaya mewah dalam menjalani hidup, jalan-jalan memakai mobil, rumah magrong-magrong, berpakaian yang serba harga mahal sehingga dikatakan sebagai orang kaya, namun pangkat sebagai orang kaya tidak bertahan lama, akibat jatuh tempo tanggungan pembayaran hutang bank beserta bunganya yang disusul penyegelan dan penarikan harta secara paksa oleh bank.
Hal ini dapat terjadi karena kita melupakan kapasitas atau jati diri serta mencurahkan perhatian pada penilaian orang lain terhadap diri kita. Sehingga kita, memantaskan walaupun tidak pantas, meguatkan walapun lemah, bahkan sampai memaksan diri di luar kemampuan kita, dan akibatnya kita-lah yang merugi karena mencari nilai baik di hadapan manusia.