Yang namanya perbedaan itu lumrah bahkan fitrah. Penampilan fisik yang dari sononya saja, mulai warna kulit sampai jenis ras berbeda-beda, apalagi pemahaman, pasti sangatlah komplek dan cenderung variatif di setiap orang yang dibekali akal oleh Tuhan. Sebab penerimaan pemahaman oleh akal sesuai dengan kapasitas pemiliknya. Ehm, walaupun sama-sama ditukuli rambut hitam loh.
Seringnya kita kan, memperkarakan perbedaan sebagai sumbu masalah yang membrentek pada masalah akhor. Kebencian, pertikaian dan perkelahian berakar dari sudut pandang perbedaan antar kita dan mereka. Sehingga kebaikan mereka bagi kita merupakan keburukan karena mata kita terkadung menaruh benci dan su’udzan.
Para sahabat yang lebih dekat dengan utusan Allah SWT pun, mereka pernah berbeda pendapat gegara penafsiran mereka tentang dawuh utusan Allah SWT masalah shalat ashar di pemukiman Bani Quraidoh. Toh, mereka tidak saling benci apalagi berkelahi demi membenarkan pendapatnya. Apalagi kita yang jauh dari masa Nabi, perbedaan pendapat pasti lebih melebar dan meluas, bukan hanya masalah agama. Kok, kita tidak bisa memaklumi dan memaknai keberagaman pendapat adalah rahmat sebagaimana yang dicontohkan, malahan kita sering nyalahin pendapat orang lain dan merasa suci sendiri. Padahal sahabat yang sudah jelas diridhoi Tuhan saja, mereka tidak mensucikan pendapat mereka apa lagi untuk mensucikan pendapat orang lain.
Pada tahun politik seperti sekarang ini, perbedaan pun beraroma politik juga. Sampai-sampai bumbu utamanya berupa racikan agama untuk memikat pelanggan dan pecandu agama demi tujuan pragmatis. Sangat disayangkan sekali, agama Islam yang notabenya nongkrong di klasemen teratas kependudukan negeri ini, menjadi sasaran empuk bagi sohibul hajat politik. Maka tidaklah mengherankan jika mereka terkotak-kotak dan saling berujar serta menebar benih kebencian. Singkatnya, teradu domba sebagai tanduk-tanduk agama.
Apalagi didukung media massa yang berperan masif sebagai pelayan dan menyuguhi masyarakat perihal tanduk-tanduk agama, sehingga masyarakat bawah terbawa arus pengkotakan meski dengan takbir yang lirih dengan radius telinga tetangga.
Lantas, apakah agama mayoritas/kuat secara kuantitas saja merupakan bentuk fitnah ataukah rahmat bagi umatnya? Apakah pantas, Islam yang sebagai agama damai malahan melahirkan pertikaian? Bukankah perbedaan adalah pengejawentahan dari rahmat yang terhampar luas yang pastinya murni kanugrahan sangkeng Allah SWT?