Kanaah yang diterjemahkan sebagai sifat menerima apa yang sudah ada, serta merasa tenang terhadap apa yang ia miliki tanpa di dibarengi usaha untuk lebih baik, mendorong penghayat untuk menyesuaikan dan menyerah atas keadaan yang menjadi kenyataan dalam hidupnya, sehingga kanaah dijalani sebagai tindakan tanpa usaha. Pada akhirnya, penghayat kanaah tidak mampu keluar dari tindasan kesengsaraan oleh penguasa.
Hemat penulis, hal ini dipengaruhi dua aspek, pertama kanaah dipahami sebagai alat untuk pemelintiran tafsir atas keadaan, agar kepedihan yang dideritanya menjilma sebagai kebahagiaan. Sehingga ia menggiring penghayat untuk menjadi pragmatif yang memanfaatkan sesuatu meskipun hanya sedikit dan sukar ditemukan. Kedua manusia mempunyai tabiat mencari tenang dan ketenagan, apabila mereka sudah menemuka dan menikmati ketenagan walaupun imajinatif, dapat dipastikan merasa cukup, sehingga meninggalkan potensi untuk merubah keadaan atau nasib.
Di lain sisi, pandangan tersebut menumbuhkan tangga angan-angan yang membumbung tinggi sampai kealam akhirat, seperti kenikmatan abadi berupa surga yang penuh dengan kebahagiaan, bidadari bermata indah dan makanan lezat siap sedia untuk dihidang. Sehingga mereka melupakan dunia tempat mereka hidup. Sikap apatis dan acuh tak acuh terhadap dunia membuat nasib mereka selalu ditindas dan terzalimi, padahal agama diturunkan untuk menata kehidupan di dunia serta menentang tindakan zalim antar makhluk.
Lebih lanjut lagi, pemahaman ini lebih condong pada sifat oportunis yang selalu memanfatkan keadaan untuk diperkosa agar sesuai dengan kebahagian yang dicarinya, misalnya keadaan yang tertindas dan miskin dicarinya kenikmatan yang dipaksakan untuk dinikmati supaya mencapai puncak tujuan hidup yaitu bahagia. Singkatnya mereka dapat bahagia kapanpun dan dimanapun berada walaupun terzalimi.
Sifat seperti ini sangat menguntungkan bagi kaum yang berada di atas sebagai penikmat dari kerja kolektif seluruh kaum, sebab mereka duduk manis dalam kursi sofa berlapiskan sutra dan menguasai diberbagai bidang, semisal ekonomi, sosial dan politik, bahkan kebanyakan menindas dan menghisap darah dari kaum yang berda di dibawahnya untuk di ambil manfaatnya tanpa memberikan hak dibawahnya, kalaupun ditemukan, itu pun masih minimal hanya sebagai penyambung kehidupan, karena selama mereka masih hidup selama itulah masa aktif sebagai mesim penghasil kekayaan masih dapat dimanfaatkan.
Pemaknaan kanaah yang seperti ini, membuat penghayat tidak sadar tentang kezaliman yang menimpa pada dirinya. Bahkan mereka ikut serta dalam melestarikan kezaliman atas warga bumi. Hal ini, berarti demi kebahagian mereka mengorbankan ridha Allah SWT berupa ikut serta dalam melestarikan kezaliman.
Padahal dalam kitab Riayah Akhir, KH Ahmad Rifai mendefinisikan kanaah, sebagi berikut:
“konaah tegese makno tarajumah, iku anteng atene makno istilahiyah, iku anteng milih ridhane Allah SWT”
Artinya kurang lebih seperti ini, kanaah secara bahasa adalah hati yang tenang sedangkan secara istilah adalah tenang dengan memilih ridhanya Allah SWT. Sehingga perlu kiranya untuk mencoba memikirkan tentang nasib yang dirasakan dan berusaha merubah imajinasi kebahagiaan dengan menciptakan kebahagiaan yang nyata dengan membongkar kedzaliman demi meraih ridha Allah SWT.