Mengapa menikah hukumnya mubah?, Karena menikah sudah menjadi tabiat dan nafsu condong melakukanya. Walaupun menikah sangat dibutuhkan guna melanjutkan istafet kepemelukan agama, namun tidak sampai kederajat wajib. Karena tanpa diwajibkan, menikah sudah menjadi keniscayaan bagi sebagian besar manusia. Suatu kegiatan yang sudah menjadi tabiat manusia dan mereka sangat membutuhkan kegiatan tersebut, dengan atau tanpa penekanan syariat pastilah berjalan, tinggal memberi peraturan agar terhindar dari kebahagiaan egois.
Hukum atau undang-undang adalah sebuah peraturan yang timbul dari masyarakat untuk masyarakat, guna mencapai kemaslahatan bersama, untuk mencapai cita-cita bersama. Apapun perkara yang dapat menghasilkan kemaslahatan kolektif, haruslah dijadikan hukum atau undang-undang, baik yang sudah berlaku mendarah daging sehingga dijadikan adat oleh masyarakat atau yang masih asing di telinga masyarakat.
Jadi sumber undang-undang ada dua yang menjurus kepada maslahat kolektif, pertama dari perilaku yang terus menerus dilakukan yaitu sebuah kebutuhan dan merasa dibutuhkan dan yang kedua dari sebuah kebutuhan tapi belum dirasa kebutuhan. Sumber pertama pembentuk undang-undang adalah adat kebiasaan, maka sangatlah mudah menegakkan serta penjagaan pun relative lebih gampang. Sumber kedua adalah perilaku yang belum dirasa kebutuhan walapun sudah pasti maslahatnya. Masyarakat perlu diberikan sosialisasi serta bimbingan dari petugas penegak undang-undang, cara tersebut mungkin efektif untuk orang yang lekas sadar karena keluasan ilmunya, akan tetapi bagi mereka yang masih dangkal kayaknya belum teratasi dengan cara di atas, oleh sebab itu di perlukan kesiap siagaan, ketangkasan dan ketegasan bagi penegak undang-undang.
Indikasi undang-undang yang mudah atau sulit di jalankan masyarakat adalah tergantung adatkah atau asingkah pembentuk undang-undang tersebut. Terlepas dari manakah undang-undang tersebut dilahirkan. Yang pasti itu semua adalah wasilah kebahagian bersama. Jadi sebuah masyarakat yang mudah mentaati undang-undang yang datang dari manapun adalah masyarakat beradap, menerima kebenaran dan mementingkan kebersamaan membuang jauh egois dan begitu juga sebaliknya.
Semisal menggunakan kendaraan bermontor, masyarakat berbondong-bondong memanfaatkan tehnologi tersebut, walaupun tanpa peraturan yang menekan. Untuk mencegah kemungkinan yang ditimbulkan berkendara yaitu kebahagiaan yang mengakibatkan kerugian pablik, dibentuklah peratuaran-peraturan seperti kartu SIM yang harus dimiliki pengendara sebagai bentuk kemahiran dalam berkendara serta perkara yang berhubungan dengannya dan izin berkendara, agaknya peraturan tersebut sangatlah sulit diterima masyarakat, oleh karena itu diwajibkan. Banyak kemungkinan yang menjadi alasan masyarakat sulit menerima hal itu, pertama anggapan montor-montor sendiri harusnya tidak ada aturan, kedua yang penting kemahiran berkendara walaupun tanpa SIM yang mereka buktikan dengan lolos dari kejaran polisi karena mereka beranggapan membuat SIM hanya menambah buncit perut penjilat pemerintah bukan sebagai bentuk kelayakan bermontor.
Adapun desiran hati yang mengarah kejiwa serta menjadi motifasi untuk melaksanakan peraturan adalah bentuk irodah keinginan yang disebabkan pemahaman yang menggiring pada kesadaran. Dan alat untuk mencapai pemahaman adalah akal yang merasa sebuah kebutuhan untuk menggapai kemaslahatan. Singkatnya, bagi akal yang sudah bisa berfikir kedepan atau sudah balig yakni bisa membedakan mana yang baik dan buruk bagi dirinya, yang bisa menaati peraturan dengan sendirinya. Hanya orang masih kecil atau belum baliglah, yang membutuhkan bimbingan untuk melaksanakan kegiatan tersebut sebab akalnya masih lemah untuk berdiri sendiri.