Seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi yang memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi, menghantarkan masyarakat pada era baru, yakni era informasi.
Pada era ini, masyarakat dihujani banyak informasi. Saking derasnya informasi yang diterimanya, masyarakat tidak mempunyai waktu lagi untuk mempertimbangkan kebenaran informasi tersebut. Yang pada akhirnya mereka secara serampangan menghakimi sesuatu tanpa pernah menimbang kefalitan data tersebut.
Penyebaran berita hoak yang sekarang ini marak dan mudah kita jumpai adalah bukti pengaminan masyarakat terhadap informasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dan sekaligus sebagai bukti menyempitnya ruang berfikir masyarakat akibat desakan arus informasi. Lebih jauh lagi, masyarakat mulai melupakan identitas pribadinya. Hal ini terlihat dalam kolom komentar yang mereka tulis di media sosial. Mereka menjelma menjadi ahlinya-ahli dalam berbagai masalah kekinian. Padahal mereka hanyalah masyarakat awam.
Fenomena orang awam menjelma ahlinya-ahli, menghantarkan mereka pada perdebatan antar awam yang tidak berpijak pada kode etik keilmuan. Walaupun sebatas perdebatan dunia maya, namun seringkali dibawa ke dunia nyata dengan berbagai kebenciannya.
Oleh karena itu, menyadari ke-awaman sangat dibutuhkan sebagai tindakan preventif. Setidaknya dengan tindakan ini, kita tidak ikut serta dalam menyebarkan berita tersebut. Dan sekaligus tabayyun melalui penggalian informasi dari sumber yang dapat dipercaya.
Bukan hanya penyebaran berita hoak yang dibidani oleh era informasi ini, namun benih permasalahan sosial kerap kali lahir melalui rahim arus informasi yang bersumber dari internet. Penyebaran paham radikalisme, ekstrimisme dan fundamentalisme sering kita jumpai dalam internet.
Informasi yang terwadai dalam internet adalah informasi bebas nilai. Artinya di internet tersedia berbagai macam informasi dengan segudang aliran yang tidak terikat dengan nilai apapun. Berbagai aliran pemikiran ataupun sakte agama campur aduk dalam kuali internet tersebut. Sehingga sangat membahayakan bagi pengguna internet, jika tidak dapat memilah mana yang berhak untuk dikonsumsi.
Lebih parahnya lagi, dalam teknologi informasi -mesim pencari- terdapat algoritma digital sebagai alat yang menyuguhkan berita di halaman layar berdasarkan konten yang sering dikunjungi pengguna. Semisal, pengguna internet sering mengakses konten jihad maka secara otomatis di halaman layarnya terdapat suguhan berita jihad.
Dengan adanya logaritma digital tersebut, ditambah kecenderungan masyarakat yang mengakses internet -terutama kaum muda- dalam rangka mencari ilmu agama serta maraknya situs yang mengajarkan paham radikalisme yang berkedok ajaran agama, memungkinkan pengguna internet terjebak dalam pusaran informasi yang menyesatkan, dan pada akhirnya meresahkan masyarakat.
Oleh karena itu, agar tidak terjebak dalam pusaran algoritma digital tersebut, pengguna internet hendaknya menulis alamat situs yang dapat dipercaya di mesin pencarian(geogle), bukan malahan menulis kata kunci apa yang ingin dicari di halaman mesin pencari tersebut.