BIAS POLITISASI AGAMA

Fenomena dimabuk oleh ajaran atau ormas tertentu dalam agama, akhir-akhir ini mulai kentara dipermukaan. Istilah bid’ah tidak asing lagi ditelinga kita. Ini membuktikan betapa mabuknya masyarakat terhadap ajaran tertentu. Dan akhirnya, pelabelan bid’ah, kafir dan khurafat bagi kelompok yang tidak sepaham dengannya, menjadi puncak dari kefanatikan atau kegilaan atas ajaran tersebut.

Melihat kegilaan atas ajaran agama tertentu, tentu saja dianggap lahan basah untuk dipolitisasi oleh oknum politik. Hal ini dilakukan untuk menjatuhkan popularitas lawan dan sekaligus meneguhkan posisi yang diusung di hati masyarakat.

Aksi agama yang bermuatan politik seperti yang terjadi di monas kemarin yang berjilid-jilid,-menurut sebagian kalangan- menegaskan bahwa terdapat politisasi agama dalam pilpres tahun ini. jika kita amati, orang-orang yang datang dalam aksi yang berjilid-jilid itu, mayoritas berjubah, berjidat hitam dan suka teriak takbir sembari mengibarkan bendera tauhid, pokonya serasa islamis banget. Sehingga mempengaruhi opini masyarakat bahwa umat islam di Indonesia sepakat untuk memilih pasangan capres dan cawapres tertentu.

Di lain sisi, masyarakat yang mendukung dan menghadiri maupun masyarakat yang setuju dan mendukung aksi tersebut, merasa apa yang dilakukannya adalah bentuk panggilan agama atau jihat di jalan Allah SWT. Sehingga sentiman antar ormas atau sakte agama semakin memanas di akar rumput yang diakibatkan oleh politisasi tersebut.

Menguatnya tensi fanatik terhadap ajaran tertentu sudah menjadi masalah sosial di tengah masyarakat dan terkadang dapat meruntuhkan tatanan masyarakat lokal. Apalagi hal itu ditumpangi politik, maka sangat mungkin melahirkan masalah di tingkat nasional melalui perpecahan umat dan pada akhirnya mempengaruhi kestabilan sebuah negara. Pasalnya, mereka mempunyai alasan selain atas nama agama untuk membuat kekacauan, yaitu atas nama menegakkan keadilan.

perolehan suara pada pelpres tahun ini hanya berselisih 10%. Hal ini, mengindikasikan kekuatan dari kedua kubu capres sama-sama besar. Jika salah satu pendukung dari capres meraup suara dari hasil politisasi agama, maka peta umat islam di indonesia mulai terlihat jelas. Yakni separo dari umat islam di Indonesia berpeluang besar untuk takbir dan mengibarkan bendera tauhid demi keadilan dan yang separo lagi berjuang untuk keamanan NKRI. Dan kemungkinan terburunya adalah terjadi adu-domba antar umat islam di Indonesia yang akan mempengaruhi kestabilan negara yang pada akhirnya kesatuan NKRI goyah.

Mungkin di tahun ini kita terselamatkan dari kemungkinan terburuk akibat politisasi agama, namun tidak menutup kemungkinan pilpres di tahun yang akan datang muncul kembali hantu politisasi agama yang membawa gelombang lebih besar sehingga menyapu dan meluluh-lantahkan kesatuan NKRI. Mengingat isu SARA masih menjadi problem yang belum terselesaikan di negara kita.

Sejak indonesia dilahirkan, isu SARA memang sudah ada dan menjadi permasalahan. Oleh karena itu, para pendiri bangsa mengantisipasi agar isu tersebut tidak menguat dan menjadi momok yang dapat menggoyahkan kesatuan NKRI dikemudian hari. Melalui perumusan pancasila sebagai  dasar falsafah negara oleh para pendiri bangsa, diharapkan isu yang berkaitan  tentang SARA dan agama dapat diredam. Sehingga tidak melahirkan masalah di negeri ini.

Pancasila sebagai falsafah, tentunya merangkul, memuat dan mengikat seluruh nilai-nilai yang berkembang dari sabang sampai marauke. Karena pancasila adalah pemersatu bangsa. Diantara nilai yang terangkul dalam pancasila adalah  nilai agama atau kepercayaan yang termuat dalam sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Nilai yang dikehendaki sila pertama adalah nilai yang positif yang digali dari nilai-nilai profetis agama-agama yang bersifat inklusif, membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan. Nilai agama yang lapang dan toleran yang memberi semangat kegotong-royongan dalam rangka pengisian etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan penempatan sila ketuhanan di atas sila-sila yang lain, politik negara mendapat akar kerohanian dan dasar moral yang kuat. Ketuhanan yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat-menghormati agama masing-masing, melaikan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan.

Dengan peran kepemimpinan moralnya, dalam rangka pencapaian tujuan negara, sila ketuhanan memberikan dimensi agama pada kehidupan politik serta mempertemukan simbiosis antara konsepsi “daulat Tuhan” dan “daulat rakyat”, yang disebut oleh Kartodirdjo dan Kuntowijoyo sebagai “Teodemokrasi. Dengan pancasila, kehidupan kolektif yang berorientasi pada penghayatan nilai-nilai itu terangkat dari tingkat sekuler ke tingkat moral atau sakral (Yudi Latif, 2011)

Melalui pemaknaan sila ketuhanan sebagaimana mestinya, pemeluk agama ataupun sakte agama dapat memahami bagaimana ajaran mereka menjadi pondasi dalam menghiasi ruang publik dan politik dengan mengutamakan kebenaran, keindahan dan kebaikan sebagai bentuk pengsakralan perkara profam demi kemajuan bangsa indonesia. Hal ini, dilaksanakan sebagai upaya mengobati penyakit akut bangsa yang terkena virus degradasi moral dan karakter yang menjangkiti disemua lini, termasuk perpolitikan bangsa. Dengan demikian, politisasi agama ataupun sakte agama tidak akan pernah laku lagi dipasaran perpolitikan indonesia.