Manusia dapat membedakan atau lebih tepatnya menilai suatu permasalahan yang berada di depannya, walaupun sebelum datang syariat. Mereka dapat membedakan kemaslahatan dan kerusakan untuk dirinya ataupun lainnya. Mendahulukan perkara yang lebih baik dari pada perkara baik, serta menolak/meninggalkan perkara yang lebih bahaya dari pada perkara yang bahaya adalah perilaku yang terpuji/bagus, yang berdasarkan akal yang mereka miliki[1]. Hal ini mengindikasikan, bahwa manusia sebelum datang syariat, mereka sudah berlomba menghasilkan kebaikan, walaupun untuk dirinya sendiri.
Mendahulukan atau memilih perkara yang lebih bermanfaat dan menolak atau menghindari perkara yang lebih merusak adalah tabiat manusia[2]. Sebab mereka condong terhadap kenikmatan dan kebahagian[3]. Oleh karena itu, syariat datang dengan pondasi menghsilkan perkara yang paling bermanfaat dan menolak perkara yang merusak dan bertujuan untuk kesempurnaan maslahat manusia, dengan kata lain me-manusiakan manusia. Dapat disimpulkan, bahwa orang yang tidak bisa menerima syariat yang sesuai dengan tabiat yang mereka miliki, maka disadari ataupun tidak mereka menghilangkan kemanusiaannya dari wadah manusia.
Salah satu syariat islam adalah amr ma’ruf dan nahi munkar. Amr artinya memerintah dan ma’ruf artinya perkara yang dianggap bagus. Jika kadua kalimat digabungkan, berarti memerintah perkara yang dibaguskan. Sedangkan nahi artinya melarang dan munkar artinya perkara yang keji lagi susah, yang jika digabungkan berarti melarang perkara keji dan menyusahkan. Dengan adanya syariat tersebut, agama menjadi sempurna, yang oleh Allah SWT memberi contoh melalui Nabi-Nya untuk berbuat baik dari lisan atupun perilaku dan menghalalkan yang baik serta mengharamkan perkara yang kotor, pastinya ini selaras dengan nalar manusia, karena amr dan nahi adalah salah satu syariat terpenting agama yang pastinya harus bermaslahat. Tidak mungkin Allah SWT mensyariatkan suatu syariat kecuali di dalamnya terdapat maslahat. Sehingga, jika kerusakan yang diakibatkan amr dan nahi lebih besar dari pada maslahatnya, maka tidak termasuk syariat yang diperintahkan.[4]
Manfaat yang diperoleh dari syariat tersebut bukan hanya di akhirat akan tetapi dunia dan akhirat. Adapun manfaat yang dapat diambil dari syariat tersebut, dari segi dunia adalah orang-orang dholim/fasik bisa dikendalikan atau sekurang-kurangnya orang dholim mengerti bahwa dirinya merugikan. Dan manfaat yang diambilnya dari sisi akhirat/agama terhindar dari dosa orang-orang yang berbuat dosa (kepeletan doso) dan mengatasi orang yang cerobah dalam beribadah dengan tidak memperhatikan syarat-rukun supaya beribadah dengan baik dan benar. Yang terpenting adalah meluruskan aqidah yang sesat seperti iman dan sahadat kurang memenuhi syarat, yang semua mengarah pada kesimpulan bahwa kedua syariat tersebut untuk keseimbangan dunia-ahirat dengan kebersamaan. Oleh karena pentingnya syariat tersebut, jika ditinggalkan maka rusaklah tatanan dunia-agama.oleh kiai Haji Rifa’i
اتوي تعكل كروني امر نهى كواجبني ايكو مجباكن كروسكن دنياني
[لن روسك اكمني الله كبنرن ايكوله ارف جمبركن كنظرني[5
Amr dan nahi tersebut merupakan ciri khas yang membedakan kita dari agama langit sebelumnya, yang dimana mereka ada yang mengharamkan sebagian kebaikan dan menghalalkan semua perkara kotor melalui rasulnya, akan tetapi nabi Muhamad SAW dengannya agama islam lahir, menghalalkan seluruh perkara yang baik dan mengharamkan perkara yang kotor. Menghalalkan perkara yang baik adalah termasuk dari amr bi-alma’ruf sedangkan mengharamkan perkara yang kotor bagian dari pada nahi an-munkar. Dengan bukti amr dan nahi umat islam berhak memegang penghargaan anugrah langsung oleh Allah SWT Tuhan semesta alam menjadi sebaik-baiknya umat di bumi,
Sebuah pertanyaan ”mengapa dengan amr dan nahi Allah SWT menjadikan sebaik-baiknya umat?. Jawabannya dikarenakan pelaku amr dan nahi mencerminkan dari hati yang mempunyai pendirian kokoh tidak bisa dirubah walaupun dengan ombak samudra iming-imingan kebahagian dunia. Disebabkan mereka ikhlas murni tanpa tercampur kepentingan pribadi, hanyalah syariat yang menjadi pedoman bukan sebuah peradatan yang dijalankan kebanyakan masyarakat seperti praktek KKN, mereka tidak peduli diasingkan ataupun gangguan oleh masyarakat sebab mereka sadar orang yang terpilihlah yang dapat menjalankan tugas berat sebagai khalifah bumi dan sabar seketika ujian menghampiri.
Wallahu A’lam.
Daftar Pustaka:
[1] Izzuddin Ibnu Abi-Salam. Kowaid ahkam hal 5
[2] Kowaid ahkam hal 7
[3] Kowaid ahkam hal 17
[4] Ibnu Taimiyah. Amar bi_alma’ruf wa nahi an_almungkar. hal 10
[5] Kiai Rifai, Abyanal hawaij, bab amr nahi jus 3