Mengenal apa itu bidah

Sebagai santri Syaikh Rifa’i yang benar-benar mengaku sebagai murid beliau, memang sepantasnya dituntut untuk bisa komprehensif (luas wawasan), lebih-lebih mengenai karya-karya beliau yang berupa intisari dari kitab-kitab salaf, sebab doktrin-doktrin yang terkandung di dalam karya beliau akan lebih membentuk karakter seorang santri yang lebih dominan dan permanen dibanding pengaruh doktrin di bidang pergerakan. Ini hanyalah perbandingan, meskipun dari keduanya sama-sama unsur dasar yang penting.

Syaikh Rifa’i dalam karangan-karang beliau, ia tidak jarang menyebut istilah bidah, dan redaksinya biasanya diberi imbuhan seperti ini, bidah dlolalah atau bidah sasar. Dari istilah-istilah tersebut penulis mau membuka cakrawala keilmuan, khususnya mengenai istilah bidah, karena setiap yang dikatakan dengan kata bidah, maka yang dikehendaki ialah bidah dlolalah ata bidah yang sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.,

وَشَرُّ الأمُوْرِمُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُّلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِيْ النَّارِ

Dan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru yang diada-adakan, dan setiap perkara baru yang diada-adakan adalah bidah, dan setiap bidah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. (HR. Nasa’i)

Bidah secara umum berarti perbuatan yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Muhammad saw. Melihat arti tersebut, bidah terbagi menjadi lima macam, meliputi, Bidah yang wajib, sunah, haram, makruh, dan bidah yang diperbolehkan (mubah).

Cara untuk mengetahui status dari berbagai macam bidah tersebut, yaitu dengan cara mengkorelasikan (pertimbangkan) perbuatan bidah dengan kaidah-kaidah syariat (qhowaidus Syariat).[1] Jika tindakan suatu bidah itu termasuk dalam kaidah yang mewajibkan, maka bidah tersebut hukumnya wajib, jika termasuk dalam kaidah yang mengharamkan, maka hukumnya haram, dan seterusnya.

Diantara bidah yang wajib hukumnya sbg.

  • Mempelajari ilmu nahwu sebagai media untuk memahami kalam Allah (Alquran) dan sabda Rasulullah (hadis). Hukumnya wajib, sebab menjaga syariat hukumnya juga wajib, karena syariat tidak akan terjaga kecuali dengan cara memahaminya. Sesuai kaidah maa laa layatimmul wajib illaa bihi fahuwa wajib; yakni “Sesuatu yang wajib tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu itu, maka sesautu itu wajib hukumnya”.
  • Menjaga (mengetahui) bahasa garib (asing) dalam teks Alquran dan hadis
  • Pembukuan ilmu usul fiqih[2]
  • membahas jarh (mengkritik) dan ta’dil (memuji) seorang rawi (periwayat hadis) agar dapat membedakan mana hadis yang sahih dan tidaknya.

Qhowa’idsu syariat telah menetapkan bahwa hukum menjaga syariat itu fardu kifayah tidak sampai fardu ain, karena bila sebagian orang/kelompok melakukan, maka sudah cukup untuk mengugurkan kewajiban yang lain.

Diantara bidah yang haram hukumnya sbg.

  • Mazhab Kadariah[3]
  • Mazhab Jabariah[4]
  • Mazhab Murjiah[5]
  • Mazhab Mujassimah[6]

Melawan dan membantah mazhab-mazhab tersebut hukumnya wajib.

Diantara bidah yang sunah hukumnya sbg.

  • Mendirikan ribat pondok tasawus/pesantren, madrasah, dan membangun bendungan irigasi dsb.
  • Setiap tindakan baik yang tidak pernah dilakukan pada era/masa awal (zama Rasulullah Saw.)
  • Salat tarawih
  • Mengkaji tasawuf secara mendetail dan mendalam, dan mengenai ilmu jadal (membantah argumen orang sesat)
  • Perkumpulan majlis guna memperoleh dalil dalam masalah-masalah yang dibahas dengan niat karena Allah Swt. semata (bahtsu masail)

Diantara bidah yang makruh hukumnya sbg.

  • Penghiasan masjid
  • Memperindah mushaf dengan menambal warna dengan emas dsb.[7]

Sedangkang pemberian syakal pada Alquran yang sekira bisa mengubah lafal-lafalnya dari status tulisan arab, menurut pendapat yang paling sahih itu termasuk kategori bidah yang diharamkan.

Diantara bidah yang mubah/boleh hukumnya sbg.

  • Berjabat tangan (mushofahah) usai salat subuh dan ashar
  • Memperlonggar kenikmatan (mewah) dalam urusan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Akan tetapi masih ada perbedaan pendapat mengenai hal tersebut, ada sebagian ulma yang mengatakan bahwa itu termasuk bidah yang diharamakan, ada juga pula yang mengatakan itu termasuk sunah-sunah yang pernah dilakukan pada zaman Rasulullah dan abad setelahanya, karena hal itu tidak jauh beda dengan praktik membaca ta’awudz dan basmalah di waktu salat.[8]

Wallahu’alam.

Oleh: Ahmadul Hadi

 

 

__________________________________________________________

[1] Hifdhuddin (menjaga agama), hifdhunnafsi (menjaga nyawa), hifdhulmal (menjaga harta), hifdhunasbi (menjaga keturunan/nasab), dan hifdhu’ardli (menjaga kehormatan). Inilah kaidah syarak yang menjadi patokan agama.

[2] Sebagaimana yang dilakukan Imam Syafi berupa bentuk kitab yang berjudul Ar-Risalah.

[3] Aliran dalam ilmu kalam yang berpandangan bahwa manusia mempunyai kekuasaan mutlak atas segala usaha dan perbuatannya, bukan bergantung pada kodrat dan iradat Allah Swt.. (KBBI V)

[4] Aliran dalam ilmu kalam yang berpandangan bahwa yang wujud di alam semesta, termasuk manusia, terikat pada kodrat dan iradat Allah Swt.. semata

[5] Aliran dalam ilmu kalam yang menangguhkan dan memberi terhadap umat yang melakukan dosa besar sampai hari kiamat. (As Syahrastani, Al-milal wa An-nihal, Dar- Al-Fikir, hlm. 112)

[6] Aliran dalam ilmu kalam yang berpandangan bahwa Allah memiliki jasad atau mempunyai sifat benda

[7] أن يوضع الزاؤوق مع الذهب فيطلى به الشييء (تزويق المصاحف)

[8] Syaikul Islam ‘Izzuddin bin Abdi As-Salam, Qhowa’id Al-Qubro, jus; 2, hlm. 337.