Cara Dakwah Kiai Ahmad Rifa’i Pemudatanbihun.Com Kebiasaan melek ndalu bisa dibilang menjadi keharusan bagi anak-anak muda yang paginya tidak mempunyai kerjaan, sebab pagi adalah waktu alternatif untuk tidur akibat begadang semalam. Tapi jangan salah sangka, karena melek ndalu mereka tidaklah dibuat foya-foya apalagi ngomongin tetangga. Itulah kebiasaan yang dibilang setengah faedah bagi anak muda umumnya dan komunitas “Pemuda Tanbihun” khususnya, komunitas kaum muda di Dukuh Bomo Kampung Rifa’iyah Demak Jateng.
Mengenai malam hari, pastinya kita bisa berangan-angan dan berpikir lebih panjang, apalagi pada malam Ramadan, malam dimana kitab suci Alquran diturunkan. Dan lagi, di dalam Alquran tersebut ada ayat yang sering diutarakan ustadz-ustadz dalam ceramahnya, tepatnya mengenai kewajibkan bagi muslim berpuasa di bulan itu, yang termaktub pada ayat 183 surat Al Baqarah,
يَاآيّهَا الّذينَ آمنوا كُتِبَ عَليكُم الصِّيامُ كمَا كُتِبَ عَلَى الّذِينَ مِنْ قَبلِكُمْ لَعلّكُمْ تَتقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (Al Baqarah: 183)
Jika kita sedikit mau berangan-angan tentang makna ayat diatas, pasti akan timbul dari otak kita rasa penasaran, khususnya pada kalimat “orang-orang sebelum kamu”, sehingga dari kalimat tersebut kita teringat dan mampu berpikir ulang tentang sejarah orang sebelum kita. Lebih tepatnya kita sebagai orang Rifaiyah, pasti penasaran tentang sepak terjang guru kita Syaikh Ahmad Rifa’i abad 19 kala itu.
Dengan demikian, untuk mengobati rasa penasaran kita, cobalah kiat sedikit menelisik sejarang singkat Cara Dakwah Kiai Ahmad Rifa’i dan metode dakwah guru kita Syaikh Ahmad Rifa’i rahimahullah yang hingga sekarang masih kita ugemi.
Cara Dakwah Kiai Ahmad Rifa’i
Sejarah Singkat Kiai Ahmad Rifa’i
Salah satu ulama Indonesia abad ke 19 yang konsisten meneruskan warisan Rasulallah ialah Syaikh Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum bin Abu Sujak kelahiran Tempuran, Kendal yang menetap di Kalisalak Batang. Ia mengembangkan dakwah lisan, bil hal, dan dengan karya tulis. Di dalam dakwahnya Ahmad Rifa’i mengajak seluruh umat Islam untuk kembali kepada Alquran dan Sunah Rasul.[1]
Syaikh Ahmad Rifa’i adalah penyusun puluhan kitab berbahasa Jawa yang berisikan ajaran-ajaran keislaman untuk konteks sosial, politik, dan ekonomi waktu itu, dan pendiri gerakan keagamaan Rifa’iyah yang kini tersebar di beberapa kota di Jawa Tengah dengan anggota sekitar tujuh jutaan. Syaikh Ahmad Rifa’i bisa disebut mendahului Muhammadiyah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan maupun Nahdlatul Ulama (NU) yang dirintis K.H. Hasyim Asy’ari dalam penyebaran dan peneguhan ajaran Islam tradisional Ahlussunnah wal Jamaah.[2]
Syaikh Ahmad Rifa’i seorang ulama intelektual lulusan Makah dan Mesir yang mempunyai reputasi tinggi, seorang cendikiawan besar abad ke 19, pembaru dan pemurni yang berjiwa patriotik, seorang ulama ahli fiqih, penyair, pemikir, pengarang paling produktif, mubalig handal, juru dakwah ulung, ahli sufi berorientasi fiqih, pendidik murid dan pengikutnya.
Pemikirannya tidak hanya terbatas ditujukan kepada rakyat yang masih terbelenggu oleh tahayul, khufarat, dan kehidupan mistis, melainkan juga kepada cara hidup feudal, kolonialisme dan ulama tradisional. Acuannya pada doktrin tauhid yang murni, fiqih dan tasawuf rasional telah menimbulkan pada dirinya sikap yang sangat lugas dan kritis terhadap kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Tulisan-tulisannya, selain berisi subtansi, yaitu ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf, juga merupakan pandangan-pandangan yang polemis.[3]
Sebagai pembaru dan pemurni Islam, Syaikh Ahmad Rifa’i merasa tidak puas terhadap kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Ia menanamkan kesadaran umat bahwa praktek kehidupan agamanya sudah jauh menyimpang dari tatanan syariah. Ia menawarkan pembaharuan dan pemurnian Islam kembali pada Alquran dan Sunah Rasul, patuh kepada orang-orang yang punya predikat Alim dan Adil. Serta menjahui perbuatan maksiat yang dipimpin oleh orang-orang fasik dan zalim.
Ditanamkan pula pada jiwa masyarakat rasa anti pati terhadap pemerintah kafir dan orang-orang yang berkolaborasi dengan kolonial Belanda. Jika pemikiran tersebut terlaksana, di negara ini kelak akan menjadi suatu negara yang kerto raharjo, tidak ada berandal, maling, perampok selama-lamanya, karena mengikuti pentunjuk Rasulallah.[4]
Akan tetapi pembaharuan dan pemurnian Islam yang ditawarkan itu ternyata mendapat reaksi keras dari para pejabat pemerintah kolonial, penghulu dan ulama tradisional. Reaksi itu tidak hanya berbentuk ucapan, melainkan juga tindakan penangkapan. Ia hadapi dengan sabar, tabah penuh tawakal.[5] Lebih memilih hidup terhormat (medeka) atau mati syahid, seperti ia sebutkan dalam karanganya Syarihul Iman sebagai berikut,
وأمَارَاةُ الواصِلِ إلىَ حَقِيقَةِ الإيمَانِ أنْ يَختَارَ مَا فِيهِ سَلامةُ الدِّينِ وَلَوْ تَلَف مالِه أو وَلدِه أو نفْسِه أوجَاهِه.
“Dan tanda orang yang sampai pada hakikat iman ialah hendaknya dalam segala hal memilih selamatnya agama, meskipun mengandung resiko hilang hartanya, kedudukannya, anaknya atau terancam dirinya”.
Sebagai pewaris Nabi, tentunya tidak terlepas dari cobaan-cobaan seperti yang dialami oleh Nabi Muhammad ketika menyampaikan risalah Agama di tengah masyarakat Jahiliyah Makah. Yang berbeda hanya kadar besar kecilnya cobaan yang diterima sesuai dengan ukuran keimanan yang ada pada diri masing-masing.[6]
Cara Dakwah Kiai Ahmad Rifa’i – Kondisi Masyarakat Kala Itu
Baginda Rasululllah dalam menyebarkan ajaran Islam di Jazirah Arabia melalui dakwah lisan, perbuatan, dan tulisan.[7] Kaifiah atau metode yang digunakan oleh Rasulullah dalam berdakwah memakai cara yang cukup bijaksana (bil hikmah), supaya masyarakat disana dapat menerima Islam dengan penuh keyakinan, memahami, menghayati, dan mengamalkannya secara utuh dan sempurna, sehinga mereka menjadi manusia yang beruntung dunia dan akhirat. Metode ini dikembangkan oleh Rasululah berdasarkan Alquran dan Sunah miliknya.
Bila kita telaah kembali sejarah pada permulaan abad ke 19, di Indonesia telah terjadi Perang Paderi yang terjadi pada tahun 1821 sampai tahun 1830. Belanda dengan menghalalkan semua cara telah berhasil keluar sebgai pemenang. Sejak itu makin bertambah kokohlah kuku kolonialisme menghujam ke dalam bumi Nusantara ini. Dimana-mana kaum pribumi mengalami rasa rendah diri yang dramatis, dan makin percaya, bahwa bangsa Belanda merupakan bangsa yang superior. Di segala segi kehidupan bangsa Indonesia telah diperkosa. Apalagi mulai diterapkannya system tanam paksa. Kepala desa dan Bupati sudah tidak menjadi pelindung dan pengayom rakyat, tetapi sudah menjadi aparatur tuan tanah.
Pada saat itu makin banyak kaum pribumi mencari keselamatan hidup dengan menjilat penguasa kafir. Pokok-pokok aqidah dan syariah amaliah, sejak semula rapuh karena Islam masuk ke Indonesia melalui sentuhan-sentuhan kultural (budaya) dan tasawuf mistis. Dan sejak berabad-abad pokok itu tidak ditegakan secara maksimal, makin kelihatan bertambah rapuh pula.
Maka tidak heran bila saat itu paham sinkretisme dan pecampuradukan antara syariah dan adat istiadat terjadi hampir di setiap saat dan tempat. Sementara kaum abangan dan kebiasaan sebelum Islam memperoleh momen perkembangan dan kemajuan yang amat subur dan pesat. [8]
Dalam Syarikhul Iman, Syaikh Ahmad Rifa’i menjelaskan kehidupan masyarakat waktu itu sebagai kehidupan yang penuh lumpur kamaksiatan dan kemungkaran. Perjudian, pemabukan, perkosaan, pelacuran, perampokan, pembunuhan dan sabung ayam sudah menjadi kebiasaan. Pada mulanya wayang dan gamelang diciptakan oleh walisongo sebagai media dakwah Islam, tetapi perkembangan selanjutnya menjadi ajang kemaksiatan. Isi ceritanya banyak yang mengandung paham animism, dinamisme, dan budaya yang merusak.
Dalam acara kenduri, dan hajatan, norma-norma agama dan sopan santun sudah tidak diindahkan lagi. Sementara laki-laki dan perempuan bukan muhrim dengan aurat terbuka kumpul dalam satu majlis tanpa tabir pemisah. Tempat-tempat makanan-minuman terbuat dari emas dan perak. Horden sutera murni menghiasi tangan para tamu yang hadir. Semua itu menyerupai gaya hidup kaum orientalis dan kapitalis yang dilarang oleh agama, karena gaya hidup seperti itu amat menyinggung perasaan kaum fakir miskin.[9]
Fenomena seperti di atas telah membangkitkan kesadaran Ahmad Rifa’i untuk segera mengadakn pembaharuan dan pemurnian di segala aspek kehidupan beragama dengan kembali kepada pangkalan semula yaitu Islam dengan kitab pentunjuk Alquran dan Sunah Rasul. Dalam pembaharuan dan pemurnian itu, ia menitik beratkan kepada maslah teologi (aqidah Islamiah), ibadah dan muamalah (fiqih) serta pelaksanaan syariat dengan hakikat (tasawuf) diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.[10]
Cara Dakwah Kiai Ahmad Rifa’i – Metode Dakwah Syaikh Ahmad Rifa’i
Untuk memperoleh hasil maksimal dalam menawarkan ide pembaharuan dan pemurnian, Syaikh Ahmad Rifa’i menerapkan enam metode dakwah sebagai berikut:
- Menerjemahkan Alquran, hadis dan kitab-kitab bahasa Arab karangan ulama dahulu ke dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab pegon berbentuk nazam atu syair empat baris dan dengan gaya tulisan merah hitam. Gaya ini disesuaikan dengan budaya tulis menulis bangsa Indonesia sejak zaman Sultan Agung Kerajaan Mataram pada Abad XVI.
- Mengadakan kunjungan silaturahmi atau anjangsana dari rumah ke rumah famili dan masyarakat lingkungan untuk menjalin kerja yang harmonis, dan menyusun kekuatan untuk membentuk gerakan yang bersifat sosial keagamaan.
- Menyelenggarakan pengajian umum dan dakwah keliling ke daerah yang penduduknya miskin materi dan agama guna membendung arus budaya asing (westernisasi), dan sekaligus mencari dukungan masyarakat yang merasa tertindas.
- Menyelengarakan diskusi dan dialog terbuka di masjid, surau, pondok pesantren dan tempat-tempat lainnya untuk mempercepat proses pembaharuan dan pemurniannya.
- Mengadakan gerakan protes sosial keagamaan terhadap ulama resmi, penghulu dan semua pihak Belanda. Cara ini digunakan olehnya untuk mencari simapti dan dukungan dari masyarakat yang tertindas.
- Dan untuk mempererat hubungan antar guru dan murid diterapkan pula metode pendekatan melalui tali pernikahan antar anak guru dengan murid terpilih, antar murid dengan murid, antar anak murid kemudian antar kampung.[11]
Dengan enam Cara Dakwah Kiai Ahmad Rifa’i ini, diharapkan dakwah pembaharuan dan pemurniannya akan memperoleh hasil yag maksimal. Dari enam metode dakwah ini juga bisa diketahui, bahwa sasaran pemikirannya tidak hanya tertuju kepada masyarakat yang masih terbelenggu oleh tahayul, khurafat, dan kehidupan mistis, melainkan juga kepada cara hidup feudal dan kolonialisme.
Di dalam keterangan lain, Syaikh Ahmad Rifa’i juga menggunakan metode yang menarik. Barang kali metode yang diterapkan dalam dakwahnya ini belum pernah dilakukan oleh para ulama Jawa sebelumnya. Metode dakwah ini dimaksudkan untuk membentengi diri dan gerakannya dari reaksi pihak Belanda, jika dikemudian hari gerakan dakwahnya itu diketahui oleh pihak reaksioner. Cara yang dimaksud ialah sebagai berikut:
- Menghimpun anak-anak muda untuk dipersiapkan menjadi kader-kader dakwah yang tangguh, guna menyusun kekuatan dan penyebar dakwah islam. K.H. Abdul Qahhar dan Kiai Maufuro merupakan bukti pengkaderan.
- Menghimpun kaum dewasa lelaki dan perempuan dari kaum petani, pedagang, pegawai pemerintahan dan kaum buruh, dimaksudkan untuk memperkokoh langkah dakwahnya. Mereka diharapkan sebagai penyokong ulama dalam segi finansial juga sekaligus sebagai pelaksana dakwah yang diinginkanya.
- Menghimpun kader-kader dakwah yang datang dari berbagai daerah kemudian dijdikan juru dakwah (mubalig) untuk diterjunkan kembali ke desa atau ke daerah masing-masing guna memberi penjelasan tentang Islam kepada masyarakat mereka.
- Menciptakan kesenian terbang (rebana) disertai lagu, syair-syair yang diambil dari ktab-kitab Tarajumah karangannya, sehingga terbangan itu disebut “Jawan”. Terbangan ini dimaksudkan untuk mengingat pelajaran, hiburan ketika hajatan dan sekaligus mengantisipasi budaya asing yang merusak karena Belanda dengan segaja ingin mengganti budaya Jawa yang diwariskan oleh nenek moyang yang mukmin-muslim itu dengan budaya modern model barat yang merusak.
- Pada hari-hari tertentu mengadakan kegiatan “khuruj” berkunjung ke tempat pemukiman penduduk yang terletak di pedalaman, juga ke kota-kota kecamatan untuk memperbaharui arah kiblat, salat Jumat, salat jamaah dan mengulang kembali pernikahan yang dilakukan oleh penghulu yang diangkat oleh pihak Belanda.[12]
Dengan menggunakan metode-metode tersebut, gerakan Ahmad Rifa’i diharapkan sanggup bertahan dan berkembangan ke berbagai daerah. Menurut Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, bahwa satu-satu gerakan yang mampu bertahan hingga sekarang, hanyalah gerakan Ahmad Rifa’i di Kalisalak Batang.[13]
Pada umumnya gerakan seperti itu tidak mampu bertahan lama, meskipun tokoh pendirinya masih hidup di tengah-tengah mereka. Kemudian pada tahun 1859 Syaikh Ahmad Rifa’i diasingkan ke Ambon Maluku dan kemudian diasingkan lagi ke kampung Jawa, setelah itu pihak Belanda berusaha memusnahkan caranya dengan cara merampas kitab-kitab yang diajarkan dan membuat gambaran tidak baik terhadap gerakan Syaikh Ahmad Rifa’i dengan pengikutnya, tetapi semua usaha pihak Belanda itu tidak berhasil melemahkan gerakan tersebut. Malah bertambah kokoh dan tersebar ke berbagai daerah di Jawa.[14] Wallahu’alam.
[1] Ahmad Syadzirin Amin, “Mengenal Ajaran Syaikh Ahmad Rifa’i, Mazhab Syafi’I dan I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah”, Jamaah Masjid Baiturrahman, Jakarta, 1987, hal.
[2] Pengantar Redaksi Buku “Perlawanan Kiai Desa” oleh Dr. Abdul Djamil. hlm. v.
[3] Prof. M. Dawam Raharja, “Purifikasi dan Dinamisasi Ajaran Islam”, Pelita, Jakarta, 20 November 1990, hal 4.
[4] Ahmad Rifa’i, “Syarikul Iman”, manuskrip. 1255 H.
[5] Ahmad Syadzirin Amin, “Gerakan K.H. Ahmad Rifa’i Dalam Menentang Kolonial Belanda”, Jakarta, Rajab 1416, hal 26.
[6] Ahmad Rifa’i, Ibid, hal 16.
[7] Surat- surat Nabi yang ditujukan kepada:
- Raja Najasyi (Sirah Ibnu Katsir, juz: 2, hlm. 42 – 43)
- Raja Kisra (Tarikhul Islam, As- Suyuti, Juz: 1, hlm. 125)
- Raja Heraclius Romawi Tmur (Hayatu Sayidil Arab, 11/84)
- Raja Muqauqis, Gubernur Romawi Timur di Mesir (Tarikh Islam, Suyuti, Juz: 1, hlm. 123) dan surat-surat lainnya.
[8] Nugroho Notosusanto, “Sejarah Nasional Indonesia”, jilid 2, Balai Pustaka Depdikbud, Jakarta, 1975, hal 173. Lihat juga, K.H. Khairuddin Hasbullah, “Tauhid Dalam Pandangan K.H. Ahmad Rifa’i” Yogyakarta, 1990, hlm. 2.
[9] Syaikh Ahmad Rifa’i, “Tabyibal Islah”, hlm. 66-68.
[10] Ahmad Syadzirin Amin, Ibid, hlm. 26.
[11] Disarikan dari kitab “Riayahul Himmah”, bab Iman, jld. 1, hlm. 48, bab guru, halm. 232, jld. II, bab mar makruf, hlm. 1-10, dan kitab “syarikhul Iman”, hlm. 49, 72, 129, 130, 156, 176, 177.
[12] Ahmad Syadzirin Amin, “Pemikiran Kiai Haji Ahmad Rifa’i Tentang Rukun Islam Satu”, Jamaah Masjid Baiturrahman, Jakarta, 1995, hlm. 20-21.
[13] Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, “Sejarah Nasional Indonesia”, jld. IV, Depdikbud, Jakarta, 1975, hlm. 229.
[14] Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Ibid.