Pegangan Kemanusiaan Kyai Rifa’i Pemudatanbihun.Com Ajaran agama Islam menggiring manusia untuk menuju, melangkah dan meraih kemuliaan dan kebahagiaan dalam menjalani hidup di dunia dan dilanggengkan samapi akhirat. Untuk merealisasikan ajaran dalam bentuk perilaku dibutuhkan pengetahuan, pemahaman, pemaknaan dan penghayatan nilai-nilai ajaran tersebut. Islam menurut kuntowijoyo adalah agama humanisme-teosentris. Artinya orientasi nilai Islam berpusat pada tauhid dengan melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dengan kata lain, Islam adalah agama yang memusatkan dirinya pada nilai keimanan dengan mengarahkan perjuangganya untuk kemuliaan peradaban manusia.
Dengan demikian keimanan harus ditransformasikan dalam bentuk ibadah yang notabene bermanfaat untuk manusia, baik untuk pribadi maupun umum. Berkaitan dengan hubungan iman dan amal, kiai Rifa’i menuliskan dalam Riayah kurasan 2 tentang iman yang harus dimunculkan dalam bentuk ibadah, sebagi berikut, wong ngimanaken ing Allah nyoto pangeran, iku amreho teguhe neng kebatinan, nembah bekti ing Allah bener ingenggonan.
Iman harus ditumbuh-kembangkan menjadi amal shaleh yang kemudiam berbuah kemuliaan dan kebahagiaan untuk diri sendiri maupun orang lain. Ayat al-Qur’an dalam surah al-Hijr ayat 15 yang dipetik oleh kiai Rifa’i dalam kitab Riayah jilid satu menunjukkan bagaiman iman harus dibarengi dengan kesungguhan mentasarufkan harta dan jiwanya di jalan Allah Swt, yang berkonsekuensi pada kebaikan, kabahagiaan dan kemuliaan manusia, sebab Allah Swt mengajak kepada darussalam yakni rumah keselamatan.
Pegangan Kemanusiaan Kyai Rifa’i
Islam tidak mengenal dekotomi atau pemisahan antara keyakinan yang bersifat batini dan perilaku yang bersifat dhahiri. Sebab keduanya terdapat hubungan integral yang tidak dapat dipisahkan serta saling terhubung. Orang yang memiliki iman dalam hati harus diinstal menjadi perbuatan shaleh untuk diri sendiri dan aslah sebagai bentuk mengupayakan kebaikan orang lain. Beriman bahwa Allah Swt adalah Tuhan yang menurunkan berbagai peraturan untuk manusia yang disampiakan oleh rasul-Nya yang di dalamnya menetapkan dan menjunjung tinggi derajat manusia, maka perilaku orang beriman harus berbanding lurus dengan keyakinannya.
Memandang manusia sebagai makhluk yang mulia dan berusaha memuliakan manusia (dakwah) adalah perilaku yang berbasis dari iman. Sebab tiada bentuk syariat yang tidak bermanfaat untuk manusia, bahkan syariat merupakan sesuatu yang terbaik untuk manusia. Dalam hal ini kiai Rifa’i menegaskan di kitab Inayah kurasan 10 dengan memetik al-Quran surat an-nahl ayat 95 yang beliau terjemahkan sebagai berikut, anging setuhune kang dhen bagusaken tinemune, mungguh Allah ing dalem syarak panggerane, yaiku kang bagus dadi manfaat nyatane, kaduwe siro kabeh gedhe kabekjan, temahane manjeng suwargo langgeng nikmat, katurut menungso opo barang hajat.
Berpijak dari syariat yang bertujuan untuk perolehan manfaat terbaik untuk kemanusiaan, maka perlu adanya usaha menebarkan kebaikan untuk kemuliaan peradaban manusia. Menebar kebaikan haruslah dibersumber dari keimanan yang di mana manusia sebagai obyek peneriman kebaikan. Kiai Rifa’i dalam Riayah kurasan 14 menyinggung hubungan antara iman dan dakwah dengan memetik al-Quran surat al imron ayat 114 yang menjelaskan kreteria orang shaleh, yakni beriman, berdakwah yaitu memerintah pada perbuatan baik dan melarang berbuatan mungkar atau kesalahan dan semagat dalam mengerjakan kebaikan.
Pegangan Kemanusiaan Kyai Rifa’i dalam pelaksanaan dakwah, metode apapun dapat digunakan tidak jadi masalah, asalkan mempunyai manfaat untuk kebaikan manusia. Sebab tujuan dakwah adalah mengajak manusia kepada kebaikan dan sekaligus menjaga degradasi kemuliaan manusia. Sebab perbuatan dosa, salah, mungkar menjatuhkan manusia dari derajat mulia kepada derajat hina. Oleh karena itu, dakwah merupakan ikhtiyar untuk mempertahankan kemuliaan manusia dengan memerintah, melarang dan mencegah perbuatan mungkar manusia. Oleh karena itu, efek dakwah setidaknya meminimalisir perbuatan mungkar, bukan malahan memperparah, memperkeruh dan meningkatkan stadiun mungkar.
Terkait hal ini, kiai Rifa’i menegaskan dalam kitab Riayah kurasan 14, bahwa metodologi dalam berdakwah haruslah menitik-beratkan pada kemanfaatan yang menjamin kemuliaan manusia, sebagai berikut, pertikele akon lan nyegah iku nasihat, ojo keliru paham ing panggonane, lan sekabehe penggawe ingkang maksiat, kang diancem-ancem sikso teko akhirat, kelawan alus tuwen seserengan kekerasane, sekiro diweyageh munfaat temahane. Baris yang lain dalam tema dan kitab yang sama, kiai Rifa’i menekankan bahwa menggunakan kekerasan dalam berdakwah hukumnya wajib jika dapat menghantarkan pada kemanfaatan yakni perbuatan taubat sebagai berikut, tinemu wajib keras patrap serengane, sabab tentu hasile nyegah dedalane, temahane wong maksiat tobat nyatane, sekurang-kurang tobat sangkeng dosane.
Islam dapat mengahantarkan manusia pada kemuliaan dan kebahagiaan dengan syarat adanya keimanan, pengetahuan secara utuh dan pengamalan ajaran secara intensif dan berkesinambungan (iman-ilmu-amal). Keyakinan dan pengetahuan tanpa dibarengi dengan pengamalan hanyalah sebuah imajinasi belaka bahkan suatu dosa besar.
Sedangkan pengamalan tanpa berbasis dari keimanan dan pengetahuan, sangat rawan ditumpangi kepentingan pribadi atau kelompok -atau boleh dikatakan kepentingan kelompok di atas kepentingan agama- yang dapat memecah-belah yang kemudian menjatuhkan manusia pada jurang kehinaan. Untuk sumber referensi sebagai penguat Pegangan Kemanusiaan K.H. Ahmad Rifa’i dalam kitabnya Inayah kurasan 9, menuliskan sebagai berikut, utawi ngelmu iku ora ditut amal kabeneran, iku dosa gedhe fasiq kelakuhan, lan amal ura anut ing ngelmu panutan, iku lakune sasar kang akeh kabingungan. Pengamalan atau gerakan yang tercerabut dari akar ajaran Islam akan mengikis, merongrong dan menjatuhkan keislamannya sendiri. Sehingga kemuliaan dan kebahagiaan yang ditawarkan oleh Islam kepada umatnya tidak dapat terrealisasikan.