Sebagai agama tauhid, Islam memusatkan iman sebagai pondasi dalam semua tatanan bangunan sistem nilai. Iman menurut bahasa adalah membenarkan sesuatu. Trem iman dapat diartikan dengan aman yang kata kerjanya mengamankan. Sedangkan menurut terminologi, iman merupkan pembenaran dalam hati terhadap sesuatu yang dibawakan Rasulullah Saw. Walupun iman dikatagorikan sebagai amal yang berada dan dilakukan di dalam hati, namun iman mempengaruhi cara berfikir, bersikap dan berprilaku dalam menghadapi berbagai persoalan. Jika keimanan seseorang bertambah kokoh dan kuat, maka potensi iman yang dimiliki akan semakin maksimal dalam mempengaruhi perilakunya.
Baca Juga
Pengaruh iman atas amal dapat kita jumpai dalam beberapa ayat al-Quran dan Hadis. Misalnya, dalam surah al Baqarah ditegaskan bahwa orang yang bertaqwa sehingga menjadikan keselamatan baginya adalah orang yang beriman yang diikuti dengan amal dzahir berupa shalat dan kemudian amal dengan harta yang di sebut zakat. Penegasan iman sebagai pondasi beramal dalam ayat tersebut sangat kentara. Amal, baik berupa ibadah mahdzoh maupun ibadah gairu mahdzoh haruslah berakar dari iman yang berada dalam hati. Penyertaan iman dalam seluruh kegiatan, perilaku, amal dan ibadah diperlukan agar tercapai pertalian antara habluminallah dan habluminanas. Sebab, manusia sebagai makhluk sosial akan senantiasa melakukan interaksi atau amal kepada manusia lain dengan mempertimbangkan kepantasan dan kepatutan hukum sosial. Amal atau intetaksi apabila tidak dibarengi dengan keimanan dalam hati, seringkali mencebak manusia pada sifat yang tercela dan bahkan seringkali mengundang malapetaka dikemudian hari. Contoh, berbuat baik kepada orang lain yang tidak didasari iman, akan menuntut atas orang lain untuk membayar kebaikannya. Apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi, maka kebencian bahkan pertikaian akan muncul dipermukaan. Pertalian antara iman dan amal harus selalu dijaga dan dirawat agar terhindar dari tuntu-menuntut anatar manusia tentang kebaikan yang sudah dilakuakan yang mengundang permungsuhan. Lebih lanjut lagi, amal yang didasari oleh iman mempengaruhi ketahanan batin atas hujatan ataupun kritikan yang disebabkan oleh amal dhahir. Oleh karena itu, iman sebagai pokok pondasi dan ketahanan dalam beramal, perlu diupayakan keabsahannya demi menyiapkan lahan yang subur bagi amal untuk tumbuh, berkembang dan berbuah. Sebagaimnan kiai Ahmad Rifai Kalisalak dalam kitab Riayah menuliskan bait seperti berikut,
Sakurang-kurang mukallaf nyito milahur
Sekedar sahe iman pepek syarat jujur[1]
Artinya
Sekurang-kurangnya mukallaf berusaha mendahulukan
Sekedar sahnya iman genap syarat jujur
Pengupayaan keabsahan iman dapat dikatakan sebagi modal utama dan pertama dalam melakukan berbagai amal baik dan sekaligus sebagai imun atas hujatan ataupun kritikan dari manusia yang bersifat menjatuhkan dalam menjalankan ibadah. Sebagai contoh, seorang yang melaksanakann ibadah amar ma”ruf yang kemudian tidak direspon baik oleh masyarakat, malahan kritikan tajam menyasar kepadanya, jika pelaku amar ma”ruf tersebut tidak membawa iman dalam menjalankan ibadah tersebut, maka hatinya sangat rentan terjangkiti virus keputus-asaan yang melumpuhkan semangat ibadah amar ma’ruf. Namun jika pembawa ibadah tersebut, menjadikan iman sebagai pondasi dalam melakukan ibadah, maka respon apapun dari masyarakat tidak mempengaruhi kesemangatan baginya dalam melasanakan ibadah tersebut. Sebab, ia hanya menjalankan perintah Allah Swt untuk memuliakan manusia dengan menjalankan amar ma’ruf. Dengan demikian, iman menjamin keamanan pribadi dari virus yang mematikan hati nurani.
Sebagaiman peran iman menjadi pondasi dalam beramal, maka bangunan amal haruslah berdasarkan pola pondasi keimanan. Refleksi keimanan harus dipantulan dalam kehidupan sehari-hari melalui amal saleh. Sehingga transoframsi iman kedalam konteks prilaku keseharian tampak dan mencerminkan perilaku orang yang beriman. Transformasi iman kedalam prilaku dan tindakan bertujuan untuk menjaga atau mengamankan titah martabat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah Swt.[2] Penjagaan dan pengamanan manusia atas kemuliaannya, dipertegas dengan pemberlakuan syariat yang menitik beratkan pada tercapainya kemaslahatan untuk manusia. Sebagaiman pendapat syaikh Izzudin sebagai berikut,[3]
الشريعة كلها مصالح اما تدرأ مفاسد أو تجلب مصالح
Artinya: Semua syariat merupakan sesuatu yang mendatangkan kebaikan, ada yang menolak kerusakan atau menarik kebaikan.
iman dapat berfungsi sebagai pengaman adalah dengan menjalankan syariat agama. Dengan kata lain, menjadikan iman sebagai pilar penyangga dalam menjalankan syariat. Dengan demikian, iman akan nampak menjadi pelindung kemuliaan manusia.
Baca Juga
Menjalankan syariat merupakan sarana bagi umat Islam dalam mengupayakan kemaslahatan serta menghindarkan dari kerusakan dalam rangka mempertahankan atau mengamankan kemualiaan manusia, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. pengamanan iman atas kemuliaan manusia yang terejawentahkan dengan syariat, dapat dilihat dari manfaat menjalankan syariah bagi manusia. Seperti pengsyariatan shalat, berbagai manfaat terdapat didalamnya, seperti menyehatkan badan, menjauhkan manusia dari nafsu yang mengajak pada keburukan,[4] serta memenuhi kebutuhan manusia sebagai manusia spritual. Pengsyariatan puasa juga mempunyai manfaat untuk manusia, diantaranya adalah mencegah datangnya penyakit dan meningkatkan kepekaan dalam menyantuni orang kelaparan karena miskin.[5] Begitu juga pengsyariatan zakat, di dalamnya terdapat manfaat, diantaranya adalah melatih diri untuk dermawan.[6] Dengan demikian, iman berujung pada amal yang bertujuan memanusiakan manusia. Meminjam bahasa Kuntowijoyo ‘Islam sebagai agama yang memusatkan dirinya pada keimanan terhadap Tuhan, tetapi mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia’.[7]
Merefleksikan iman kedalam prilaku dan tindakan sebagai upaya mengamankan kemanusiaan, dapat dilakukan melalui pengamanan diri sendiri dari setiap tindakan yang menggerus martabat kemuliaan manusia. Dengan menjalankan kewajiban serta menjauhi larangan agama, maka kemuliaan akan disandang karena bersanding dengan yang Maha Mulia. Hal ini, diisyarahkan oleh hadis hudtsi sebagai berikut,
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
Artinya: Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku; yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. (HR. Bukhori).
Orang yang berusaha menampakkan keimanan kedalam perilaku dan tindakan melalui kesungguhan dalam menjalankan kewajiban serta menjauhi larangan agama, secara otomatis mendekati yang Maha Mulia, sehingga ia berpotensi menerima kemuliaan dari-Nya. Dalam bahasa jawa bernadzam KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak menuliskan tentang penekanan atas mukallaf untuk senang berlaku adil, sebagai berikut,
Baca Juga
Wajib mukallaf ing adil arep roghof
Ikilah kalam ulama fahamen ya talib
Lan aran wong adil riwayat tinemune
Iku islam aqil balig dateng nabi agamane
Kang ora ngelakoni maksiat gedhe dosane
Lan ura ngekelaken atas cilik durokone[8]
Artinya,
Wajib atas mukallaf kepada adil supaya senang
Inilah pendapat ulama pahamlah wahai pelajar
Dan benar nama adil riwayat ditemukan
Yaitu islam, berakal, baligh, telah datang agama Rasul
Tidak melakukan maksiat besar dosanya
Dan tidak terus-menerus( melakukan) atas kecilnya durhaka
Dengan demikian, berlaku adil dengan menjauhi larangan demi mengamankan hati dan perilaku dari tetesan tinta hitam yang menodahi dan mencemari kejernihannya adalah bentuk usaha merefleksikan atau memantulkan iman kedalam kehiduapan nyata. Melalui pemantulan tersebut, iman nampak sebagai pengaman kemuliaan manusia.
Melalui pengamanan diri sendiri atas berbagai prilaku atau tindakan yang menjatuhkan martabat manusia, proyek pengamanan kemuliaan manusia (dalam sebuah kaum) mendapat angin segar yang akan membawa dan menyebarkan benih pengamanan dari satu orang keorang lainya. Dan begitu seterusnya. Sehingga keamanan yang menjamin kemuliaan
( agama, akal sehat, kehormatan, harta, nyawa dan nasab) manusia akan tergapai yang akan menghantarkan manusia pada kemuliaan peradaban. Bukankan Tuhan akan merubah suatu kaum apabila kaum tersebut mau merubah pada diri mereka sendiri[9]???
[1] KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak, Riayatul Himmah, Kurasan 1.
[2]ولقد كرمنا بني ادم
Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. (QS: Al Israa’: 70)
[3] Syaikh Izzudin ibnu Abdi as-Salam, Qowaidul Ahkam Fi Masalih al-Anam, (Bairut: Darul Kitab Ilmiyah, 2004). Hlm. 11, Juz 1.
[4] Ali Ahmad Aj-Jurjari, Hikamah at-Tasrik wa Falsafatihi (Jeddah: al Haramain, tanpa tahun), Hlm. 106 Juz. 1.
[5] Ibid 204, Juz 1.
[6] Ibid 172, Juz 1.
[7] Kuntowijoyo, Paraigma Islam: Interperetasi Untuk Aksi, (Sleman: Tiara Wacana, 2017), Hlm, 179
[8] KH. Ahmad Rifa’i, Husnul Mitolab, kurasan 7.
[9] QS: Ar Ra’d:11