Akhir-akhir ini kebutuhan hidup semakin meningkat secara signifikan. Perkembangan pasar yang didukung oleh kemajuan teknologi, membawa angin segar yang cukup besar dalam menyebarluaskan budaya konsumtif. Penyebaran iklan yang begitu masif, baik melalui media cetak ataupun media elektronik, bertujuan menyedot pandangan massa agar tertarik dan membeli produk tersebut. Dengan begitu budaya konsumtif menemukan memontumnya untuk berkembang di tengah masyarakat.
Di era digital ini, pemasaran dan pengiklanan produk mulai bergeser dari dunia nyata ke dunia maya. Banyaknya pengguna smarphon yang memungkinkan penggunanya untuk mengakses dunia maya, dimanfaatkan oleh pelaku pasar untuk meraup keuntuangan yang lebih besar dengan membuat toko atau market dan memasarkan produk melalui jasa media maya. Diharapkan dari pengiklanan produk, masyarakat mengenal manfaat produk tersebut dan pada akhirnya ingin memiliki barang tersebut – hal ini berdasarkan pada tabiat manusia yang ingin memiliki setelah mengetahui manfaatnya. Selain itu, untuk meningkatkan gairah konsumtif, para pelaku pasar memperindah dagangannya melalui pemasangan berbagai promo menarik. Hal ini, agaknya sukses mempengaruhi masyarakat untuk lebih konsumtif .
Akibat dari budaya konsumtif adalah meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap sesuatu barang atau jasa. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, harus ada mahar yang dibayar yaitu harga. Ia merupakan satuan rupiyah yang harus dibayar untuk memiliki barang yang diinginkan. Jadi, budaya konsumerisme membutuhkan banyak uang untuk dibelikan sesuatu yang dingingkan dalam rangka maraih kepuasan sementara.
Di lain sisi-sisi, lampangan pekerjaan semakin hari bertambah sempit dan di sudut lain kebutuhan semakin meningkat. Hal ini, menyeret masyarakat konsumtif ke dalam kegoncangan jiwa, karena keinginan atau kebutuhannya tidak tercukupi. Dan diperparah lagi dengan lingkungan konsumtif yang memojokkannya, dengan alasan tidak sesuai pada umumnya, yakni konsumtif. Korban budaya konsumtif seperti ini, berkemungkinan besar menanggung beban pikiran yang amat berat serta menekan jiwa, dan tidak jarang terserang penyakit mematikan setelah adanya beban pikiran tersebut. Bukan hanya korban budaya konsumtif yang potensi terserang penyakit, namun penikmat dan pelaku konsutif juga berpotensi prustasi karena tidak pernah menemukan kepuasan hakiki dan selalu mengingakan sesuatu untuk dimilikinya.
Agaknya budaya konsumtif dalam istilah agama disebut sebagai itba’ul hawa/mengikuti kenginan. Kenginan yang dimaksutkan di sini adalah keinginan yang menjauhkan diri dari kebenaran. Ia termasuk salah satu dari sifat tercela. Dengan mengikuti kenginan yang hanya menawarkan kepuasan sesaat yang menghantarkan pada keinginan lain dan begitu seterusnya, maka berbagai usaha akan terfokuskan dan tercurahkan pada penggapaian kepuasan tanpa pernah rampung. Yang pada akhirnya melupakan dan melalaikan pada kepuasan yang hakiki yakni kebenaran. Manusia yang terjangkiti virus lupa dan lalai terhadap kebenaran, dengan sendirinya akan keluar dari jalur kebenaran. Semakin melupa dan melalaikan kebenaran melalui mengumbar nafsu, maka semakin gelap jalan yang ditempuh karena bertambah jauh dari cahaya kebenaran dan endingnya adalah mendapati azab yang berat. Oleh karena itu, al Quran mengingatkan manusia agar tidak mengikuti nafsu,
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Artinya; Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.(QS; Shaaad:26)
Selain menjauhkan dan menyesatkan dari jalan Allah, mengikuti nafsu juga dapat mengahantarkan manusai pada azab yang berat. Siksaan berat bagi pengikut nafsu tidaklah hanya ditangguhkan di alam akhirat nanti, namun siksaan itu dicurahkan langsung di dunia ini. Sebab pengikut nafsu selalu mengejar keingian yang jika tercapai keinginan tersebut maka keinginan yang lain akan segera lahir dan begitu seterusnya sehingga mereka tersiksa dan tersakiti dengan keinginannya sendiri. Seperti yang di sebutkan oleh Imam Izzudin Ibnu Abdi Assalam dalam kitab Qowaid al Ahkam fi Masalihil Anam, bahwa keinginan adalah rasa sakit, sebagi berikut,
والاشتهاء كله مفاسد لما فيه من الالام
Artinya; Semua keingian adalah merusak karena di dalamnya terdapat rasa sakit.
Rasa sakit yang dirasakan di dalam hati, agaknya menjalar dan mempengaruhi kesehatan jasmani. Pasalnya terdapat berbagai penyakit jasmani menghinggapi manusia yang didahului oleh kesakitan hati. Di lain sisi, orang yang mengumbar nafsu kerapkali terjerumus dalam kubangan maksiat. Sedangkan maksiat, dalam pandangan agama adalah penyakit dan racun. Hal ini, disinggung Kiai Rifa’i dalam kitabnya yang berjudul Riayatul Himmah, sebagai berikut,
ورها سيرا اع ستهوني سكبيهن# معصية ايكو للارن لن اوفس تمنن
Artinya; Ketahuilah, bahwa sesungguhnya seluruh # maksiat itu penyakit dan bisa (racun) yang jelas.
Apabila dirunutkan, sebab yang menjadikan manusia mengikuti nafsunya adalah menaruh harapan yang berlebihan pada kekayaan materi atau dunia dalam menggapai kepuasan atau kebahagiaan. Hal ini dalam istilah agama di namakan sebagai hubbu dunya. Dari menaruh harapan yang berlebihan terhadap dunia, maka timbullah perasaan sangat ingin memiliki yang diistilahkan dengan sifat Tamak. Oleh karena itu, mengikuti nafsu atau Ittibaul Hawa adalah hasil dari metamorfosis sifat hubbu dunnya yang melewati fase tamak. Ketiga sifat tersebut termasuk sifat yang tercela dan yang dicela oleh agama. Jadi, induk dari megikuti nafsu adalah kecintaan terhadap dunia.
Tindakan preventif yang ditawarkan agama agar terhindar dari sifat tersebut adalah dengan mengajarkan dan menganjurkan bagi pemeluknyan untuk melakukan berbagai laku tasawuf seperti zuhud(tidak bergantung pada dunia), qonaah (tidak rakus), sabar dan lain sebagainya. Laku tasawuf ini, mengubah prespektif manusia dalam menilai dunia dengan menjadikan dunia sebagai wasilah atau perantara dalam mencapai tujuan hakiki yaitu Al Haq. Oleh karena itu, pelaku tasawuf tidak menjadikan dunia sebagai tujuan dalam mencapai kepuasan, sehingga mereka terhindar dari siksaan kenginan duniawiyah yang tiada habisnya. Dengan begitu, pelaku tasawuf mempunyai kekebalan atau imunitas dalam menolak penyakit dzahir yang disebabkan oleh beban pikiran atau penyakit hati akibat dari kecintaan terhadap dunia.