Kata ILMU diambil dari bentuk masdar yang fi’ilnya berupa علم-يعلم yang menurut kamus (lugot) mempunyai dua makna yang pertama ma’rifat atau mengetahui yang kedua pengetahuan atau masalah yang diketahui dan secara istilahnya (term) ilmu berarti: pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
Bila ditinjau dari sistematis dan shorof adanya masdar (kata kerja) pasti darinya terbentuk sighot isim fa’il (pelaku/orang yang sedang mengerjakan), kata عالم (orang yang mengetahui) asal dari علم (pengetahuan) jika kita telah mengetahui arti ilmu pastinya kita juga mengetahui arti ‘alim sesuai kerangka tersebut, dari pemahaman di atas bisa dikorelasikan bahwa orang ‘alim adalah orang yang mengetahui sesuatu tentang suatu bidang pengetahuan singkatnya.
Esensi pembahasan mengerucut pada istilah علماء bentuk jamak عالم dan sudah maklum makna ulama bila di kaitkan dengan makna pengertian di atas, tapi makna tersebut masih banyak menimbulkan pertanyaan (kemusykilan) karena kejumudan arti ulama versi lughot memasukan seorang yang hanya cendikiawan,budayawan,sastrawan bahkan seorang doktor hingga seorang profesor maka dari itu disini akan memperlihatkan esensi ulama dan eksistensinya, agar tampak jelas untuk publik apa hakikat ulama?
Secara syar’i kata ulama telah tercantum dalam Al Qur’an dan Hadits karena memang makna syar’i lebih didepankan dari pada makna lugowi (bahasa) yang berkaidah:
المسمى الشرعي اوضح من اللغوي
Nama secara syar’i lebih bermakna (valid) dari pada lugowi, sesuai dengan qoulun Nabi SAW:
العلماء هم ورثة الانبياء
“Ulama adalah mereka pewaris ilmu (agama) nabi-nabi.”
Dan juga terdapat pada kalam Allah SWT:
انما يخشى الله من عباده العلماء (من كان عالما باالله و اشتدت خشيته)
“Ulama adalah orang yang tahu dan yakin akan Allah serta sangat takut kepadaNya.”
Keberadaan ulama disekitar kita merupakan sumber acuan dalam menjalankan kehidupan demi kebahagian di dunia maupun untuk akhirat, maka dari itu ikuti ulama’ karena memang itu sebuah kewajiban bagi bangsa umumnya bagi umat islam khususnya, berdasarkan Al Qur’an:
أطيعواالله وأطيعوا الرسول و أولي الامر منكم
اولي الامر اي العلماء
Ketika ulil amri ditafsiri ulama maka suatu kewajiban taat kepadanya sebagaimana Allah dan Rasul-Nya.
Ketika kita termasuk ummat yang mengajak kebaikan (الخير) padahal alkhoir adalah mengikuti Al Qur’an dan Hadist Nabi, dalam:
الخير اتباع القرأن و سنتي
Kebaikan ialah menurut Al Qur’an dan sunnahku. Maka jelas bahwa disinilah keberadaan ulama’ sebagai pewaris anbiya’ karena tak akan ada standarisasi pemegang Al Qur’an dan Hadist kecuali para alim ulama’.
والله اعلم.